Pagi itu saya lagi bad mood. Saya membangunkan suami dengan sedikit anarkis. Sialnya, dia susah sekali untuk membuka mata. Memang sebelumnya dia (lagi-lagi) harus begadang menyelesaikan kerjaannya. Biasanya sih saya menepuk-nepuk pelan kakinya sambil membawakan segelas air segar, menyerahkan gelas tsb. kemudian kalau pas lagi baik hati ya akan menungguinya menghabiskan air, kalau tidak ya membiarkannya memegang gelas sambil (masih) merem. Jadi mau tak mau dia akan berdiri lalu menaruh gelas, dan bangun. Namun pagi itu, demi mengikuti kejelekan mood, saya mengguncang keras badannya sambil memanggil namanya keras-keras. Tak juga bangun, kutepuk-tepuk kasar kakinya. EH, GA NDANG BANGUN? Kuberanikan diri melakukan sesuatu yang takpernah kulakukan padanya... Kucubiti kakinya sambil masih berteriak!
Suami berhasil bangun. Tapi bisa ditebak, dia ikut marah!
Saya mendapat balasan yang setimpal atas kemarahannya.
Dan saya memilih untuk diam saja. Takut.
Saat dia mendirikan sholat, saya mengevaluasi diri. Kemarahan yang jarang saya terima ini, sebenarnya bersumber dari sifat buruk saya. Saya sedang membiarkan sifat ego dan sok tahu saya. Saya merasa dialah yang salah. Udah tau waktunya mendekati shubuh, dia malah beranjak tidur. Salahnya lagi adalah, dia tak mau sgera menuruti saya untuk bangun dan sholat shubuh.
Tiba-tiba saya teringat sesuatu. Beberapa jam yang lalu, saya terbangun sejenak (nglilir) karena kepala saya digerakkan oleh orang lain. Sebuah bantal diselipkan di bawah kepala saya. Memang saat menjelang tidur, saya harus berbagi bantal dengan Alisha. Karena bantal saya digunakan suami, ditumpuk di atas bantalnya sendiri. Saya tak sampai hati untuk membangunkannya yang sedang kecapekan luar biasa krn. pekerjaan yang menuntutnya bolak-balik 9 jam perjalanan Tuban-Jember-Tuban. Mungkin saat tidur, kepala saya 'ngglender' sehingga tak berbantal. Dan di tengah tidur, ada seseorang yang berbaik hati menyediakan bantal untuk kepala saya.
Seseorang itu adalah belahan hati saya, yang mau menerima saya apa adanya sejak EMPAT tahun silam. Yang mengikat saya dengan mahar sederhana namun bermakna. Yang dengan sungguh berani megambil pertanggung jawaban atas diri saya, dari orang tua saya. Yang menemani perjuangan saya selama 9 bulan 10 hari untuk mengasuh anak dalam kandungan. Yang rela mengorbankan waktu bersenang-senangnya demi mencari nafkah untuk saya dan anak kami. Yang mau bercapek-capek ria menempuh perjalanan Tuban - Jember dalam sehari, yang terus mengingatkan saya untuk harus jadi lebih baik, yang ... Ah, terlalu berlama-lama kiranya jika aku terus-terusan menghitung kebaikan-kebaikan si pemberi bantal.
Dialah suami saya. Memang dia tak hobi menghujaniku dengan ucapan-ucapan romantis. Tapi dia lebih senang menyiratkan hal-hal kecil untuk mengungkapkan rasa cintanya padaku.
Selesai sholat, saat dia langsung menghadap laptop lagi, kuhidangkan segelas coklat hangat. Kupeluk kakinya dan kuukir sebuah kalimat maaf untuknya. Seperti biasa, pasti dimaafkan. Horeee!
Terima kasih, cinta. Atas segala yang sampeyan berikan pada saya. Maafkan saya, atas segala ketidak mampuan saya dalam memenuhi harapan-harapan sampeyan. Maafkan juga atas kekasaran sikap saya pagi itu.
Nah, untuk pembaca yang masih setia hingga baris ini, yuk ambil hikmah dari cerita saya ini.
Hmm, terkadang kita dengan mudah menyalahkan orang lain, ya? Kalo menuruti emosi, maka pertengkaran dan saling menyalahkan akan terjadi. Dan hal itu tak akan kunjung selesai jika tak ada yang mau mengakui kesalahan dirinya. Dibalik kesalahan orang lain, pasti ada salah kita. Dibalik kemarahan suami, ada kemarahan saya. Dibalik molornya suami, ada ketidak sabaran saya. Dan lain sbgainya.
Selain itu, dibalik kesalahan orang lain, ada kebaikan-kebaikan yang tak pernah kita sadari. Beruntung pagi itu saya mau menurunkan ego dan menghilangkan emosi, sehingga terbersit kesadaran akan kebaikan-kebaikan suami sebelumnya.
Jadi, doakan saya untuk selalu bisa rendah hati memaafkan kesalahan orang lain. Karena pasti saya ikut berkontribusi dalam kesalahan itu. Dan pasti, ada kebaikan dibalik kesalahan orang lain yang sedang saya terima. Saya doakan pula anda berlaku yang sama.
Doakan pula, pernikahan saya yang hari ini menginjak tahun keempat, bisa menjadi pernikahan dunia akhirat. Sakinah, mawaddah, rohmah, dan bermanfaat. Saya doakan pula anda mendapatkan hal yang sama.
Semoga bermanfaat dan mencerahkan.
_Salam hangat_
Ny. Candra Andriawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar